Selasa, 30 Juni 2009

majikan tak mau bayar 2000 ringgit

Majikan Malaysia Ogah Bayar PRT 2.000 Ringgit
Selasa, 30 Juni 2009 | 14:01 WIB

KUALA LUMPUR, KOMPAS.com - Pemerintah Malaysia membikin skema untuk memberi pelatihan bagi orang-orang lokal sebagai pembantu rumah tangga untuk mengurangi ketergantungan terhadap pekerja dari luar Malaysia. Sayangnya, skema ini gagal lantaran majikan emoh mengupah pembantu dengan ongkos yang tinggi.

Tahun lalu, pemerintah merilis kursus untuk menciptakan home manager. Mereka bisa menggaet tak kurang dari 2.000 ringgit atau sekitar Rp 5,8 juta per bulan. Upah ini empat kali lebih besar dari yang biasanya dibayarkan oleh majikan Malaysia untuk pelayan dari Indonesia.

Namun, organisasi yang menyelenggarakan pelatihan ini, Institut Karisma mengatakan pada News Straits Times bahwa dari enam kali pelatihan yang telah digelar, para majikan menolak upah yang harus mereka bayarkan untuk mempekerjakan home manager ini. Bagi majikan ini, 2.000 ringgit terbilang tinggi.

"Saya mendapatkan beberapa permintaan untuk home manager, namun majikan hanya bersedia untuk membayar 400 ringgit saja," kata Shah Amirudin Idris, Manager Institut Karisma.

Menurut Shah, meski level home manager lebih tinggi ketimbang pelayan biasa, namun para majikan ini melihat pekerjaan home manager tak ubahnya dengan pembantu biasa.

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja Maznah Mazlan mengatakan pada parlemen kemarin bahwa pengupahan (yang tinggi-red) dan kondisi akan menjadi dorongan bagi warga lokal untuk bekerja sebagai pelayan.

Sebuah media lokal di Malaysia mengatakan, hanya 6,7 persen orang Malaysia yang bersedia untuk membayar lebih dari 700 ringgit per bulan untuk mengupahi pembantu rumah tangga. Sementara itu, rumah tangga Malaysia mempekerjakan tak kurang dari 320.000 pembantu yang diusung dari Indonesia, Filipina, Kamboja dan Sri Lanka.

Minggu lalu, pemerintah Ind

Majikan Malaysia Ogah Bayar PRT 2.000 Ringgit
Selasa, 30 Juni 2009 | 14:01 WIB

KUALA LUMPUR, KOMPAS.com - Pemerintah Malaysia membikin skema untuk memberi pelatihan bagi orang-orang lokal sebagai pembantu rumah tangga untuk mengurangi ketergantungan terhadap pekerja dari luar Malaysia. Sayangnya, skema ini gagal lantaran majikan emoh mengupah pembantu dengan ongkos yang tinggi.

Tahun lalu, pemerintah merilis kursus untuk menciptakan home manager. Mereka bisa menggaet tak kurang dari 2.000 ringgit atau sekitar Rp 5,8 juta per bulan. Upah ini empat kali lebih besar dari yang biasanya dibayarkan oleh majikan Malaysia untuk pelayan dari Indonesia.

Namun, organisasi yang menyelenggarakan pelatihan ini, Institut Karisma mengatakan pada News Straits Times bahwa dari enam kali pelatihan yang telah digelar, para majikan menolak upah yang harus mereka bayarkan untuk mempekerjakan home manager ini. Bagi majikan ini, 2.000 ringgit terbilang tinggi.

"Saya mendapatkan beberapa permintaan untuk home manager, namun majikan hanya bersedia untuk membayar 400 ringgit saja," kata Shah Amirudin Idris, Manager Institut Karisma.

Menurut Shah, meski level home manager lebih tinggi ketimbang pelayan biasa, namun para majikan ini melihat pekerjaan home manager tak ubahnya dengan pembantu biasa.

Sementara itu, Menteri Tenaga Kerja Maznah Mazlan mengatakan pada parlemen kemarin bahwa pengupahan (yang tinggi-red) dan kondisi akan menjadi dorongan bagi warga lokal untuk bekerja sebagai pelayan.

Sebuah media lokal di Malaysia mengatakan, hanya 6,7 persen orang Malaysia yang bersedia untuk membayar lebih dari 700 ringgit per bulan untuk mengupahi pembantu rumah tangga. Sementara itu, rumah tangga Malaysia mempekerjakan tak kurang dari 320.000 pembantu yang diusung dari Indonesia, Filipina, Kamboja dan Sri Lanka.

Minggu lalu, pemerintah Indonesia menegaskan bakal menghentikan kiriman tenaga kerjanya ke Malaysia lantaran si majikan Malaysia melakukan tindak kekerasan terhadap pelayannya. (Femi Adi Soempeno/Kontan)



onesia menegaskan bakal menghentikan kiriman tenaga kerjanya ke Malaysia lantaran si majikan Malaysia melakukan tindak kekerasan terhadap pelayannya. (Femi Adi Soempeno/Kontan)

hukum jual beli black market

Hukum Jual Beli Barang Black Market

Assalamualaikum wr. wb.

Pengasuh yang saya hormati. Saat ini saya tertarik dengan masalah jual-beli barang black market (BM). Di saat harga-harga sedang melambung tinggi seperti sekarang ini, mungkin bagi sebagian masyarakat, jual beli barang BM adalah salah satu solusi untuk dapat memiliki barang dengan harga yang lebih murah. Padahal sangat jelas jual-beli barang BM dapat merugikan negara, karena jual-beli tersebut lolos dari pajak.

Yang ingin saya tanyakan; (i) apa hukum jual beli barang BM menurut tinjauan hukum Islam? (ii) apakah jual beli barang BM dapat dikategorikan ke dalam jual-beli gharar, karena di dalam jual beli tersebut mengandung unsur tipuan yaitu menipu negara, karena barang yang diperjual-belikan masuk ke Indonesia dengan cara diselundupkan agar terhindar dari pajak?

Mohon penjelasan dari pengasuh. Terima kasih.

Wassalamualaikum wr. wb.

Fithria Utami-Banjarmasin

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Sahabat Fithria yang baik, pengasuh mengucapkan terima-kasih atas partisipasinya dalam forum konsultasi syariah di Kantor Berita Ekonomi Syariah (KBES), www.pkesinteraktif.com.

Transaksi jual-beli barang black market (BM) mempunyai dampak negatif pada kondisi perekonomian pada suatu wilayah (negara). Hal ini dikarenakan, disamping barang BM tersebut masuk ke suatu wilayah tanpa terkena pajak (tax), barang BM juga termasuk kategori gharar, tidak jelas asal usulnya.

Dalam perspektif hukum Islam, praktek transaksi jual-beli termasuk sesuatu yang dibolehkan. Sebagaimana firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275. “Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Ayat ini sesuangguhnya masih bersifat umum. Karena tidak semua model transaksi jual-beli yang dihalalkan dalam syariah Islam. Sehingga ada beberapa hadits Nabi Muhammad Saw yang men-takhsish ayat tersebut. Ditemukan beberapa hadits Nabi yang menjelaskan transaksi jual-beli yang masuk dalam kategori dilarang untuk dipraktekkan.

Beberapa transaksi jual-beli yang dilarang dalam Islam, diantaranya adalah ba’i al-gharar (jual-beli yang mengandung unsur ketidakjelasan (jahalah)), ba’i al-ma’dum (transaksi jual-beli yang obyek barangnya tidak ada), ba’i an-najash (jual-beli yang ada unsur penipuan), talaqi rukban (transaksi jual-beli yang menciptakan tidak lengkapnya informasi di pasar, karena penjualnya dihadang di tengah jalan), transaksi jual-beli pada obyek barang yang diharamkan, dll.

Adapun praktek transaksi jual-beli barang BM termasuk dalam transaksi yang dilarang, karena beberapa sebab, di antaranya adalah: Pertama, transaksi BM merupakan bentuk transaksi yang ilegal. Mengapa ilegal? Karena barang BM adalah barang yang statusnya tidak diakui di pasar. Karena masuknya ke pasar melalui selundupan, agar tidak kena bea cukai.

Kedua, transaksi jual-beli BM akan mengganggu keseimbangan pasar. Dalam hal ini, barang-barang BM yang telah beredar di pasar akan mempengaruhi harga barang sejenis yang dijual secara legal. Biasanya, barang yang berstatus BM akan dijual lebih murah, dibanding dengan barang yang memang statusnya diperoleh secara legal.

Rasulullah Saw melarang bentuk transaksi yang berakibat pada terganggunya mekanisme pasar. Dari sisi penawaran (supply), kondisi harga pasar akan terganggu. Hal ini sama dengan model transaksi talaqi rukban yang dilarang untuk dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. Karena efeknya sama-sama mempengaruhi mekanisme pasar.

Ketiga, ajaran Islam memberikan panduan bagi umatnya untuk menggunakan barang atau produk yang halal. Produk BM termasuk dalam kategori produk yang tidak jelas (gharar) asal usulnya. Bisa jadi, produk BM berasal dari praktek yang dilarang dalam Islam, seperti hasil pencurian atau penipuan dll.

Dalam hal ini, produk BM bisa kita kategorikan dalam transaksi yang gharar (tidak jelas) yang prakteknya dilarang dalam ajaran Islam. Demikian penjelasan yang dapat pengasuh sampaikan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan pengetahuan kita tentang ekonomi syariah. Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq. [hsn]

Sistem jaminan halal pada bank syariah

Sistem Jaminan Halal Pada Bank Syariah

Istilah Sistem Jaminan Halal (SJH) atau halal assurance system sudah tidak asing lagi di industri perusahaan produk halal. Karena saat ini setiap perusahaan yang menghasilkan produk halal dituntut untuk dapat memberikan garansi kalau produk yang dimilikinya halal dikonsumsi oleh umat Islam. Adalah Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) yang telah mengeluarkan standar sistem jaminan halal untuk perusahaan produk halal yang kini sudah diakui keabsahannya oleh berbagai negara, seperti Cina, Australia, Amerika, Kanada dan Malaysia.

Halal assurance system adalah sistem jaminan halal bagi perusahaan yang memproduksi produk halal. Halal assurance system merupakan suatu sistem yang menjaga kehalalan produk, dimana sistem dibuat sedemikian rupa dengan halal policy dan halal system diterapkan di semua tingkatan manajemen maupun di semua bagian, serta komitmen manajemen dan pegawai menjaga kehalalan dari suatu bahan untuk menghasilkan halal produk.

Awalnya produser menerima sertifikat halal dari MUI. Audit yang dilakukan oleh LPPOM-MUI adalah audit bahan dari hulu ke hilir dengan juga melakukan traceability terhadap sumber bahan baku. Setelah diaudit, hasil audit dilaporkan ke Komisi Fatwa MUI. Bila lolos maka keluarlah sertifikat halal yaitu fatwa tertulis terhadap status kehalalan suatu produk. Disini halal bersifat lizatihi. Tidak ada bahan najis atau haram boleh tercampur. Hal ini menganut zero tolerance. Sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI berlaku dua tahun. Semasa dua tahun inilah perusahaan harus menerapkan halal assurance system.

Paling lambat 6 bulan setelah menerima sertifikat halal, perusahaan sudah siap diaudit oleh LPPOM-MUI dalam rangka mendapatkan sertifikat halal assurance system (sistem jaminan halal). Bila tiga kali audit mendapat nilai A, maka perusahaan mendapatkan sertifikat tersebut. Disini dimaknai bahwa perusahaan harus membuktikan dengan sistemya, mereka konsisten memproduksi produk halal.

Mengapa mereka perlu konsisten? Seringkali bahan baku halal terbatas, sedangkan bagian marketing ingin meningkatkan pemasaran, produk yang ada perlu dimodifikasi, dan ditambah bahan tertentu agar lebih laku di pasaran. Disini terlihat ada kemungkinan terjadi conflict of interest antara bagian produksi dan marketing. Beberapa faktor internal dan external perusahaan juga dapat mempengaruhi perusahaan untuk tidak memproduksi produk halal. Dengan sistem yang menjamin kehalalan maka diharapkan produk yang dihasilkan dapat dijamin kehalalannya.

Adanya Sistem Jaminan Halal ini diharapkan dapat melindungi kepentingan umat Islam yang mayoritas di Indonesia dalam perilaku konsumsi. Sebagai penduduk yang mayoritas di Indonesia, umat Islam berhak untuk mendapatkan akses produk yang halal. Salah satu caranya yaitu dengan memberlakukan Sistem Jaminan Halal pada perusahaan-perusahaan yang memproduksi produk halal. Dengan Sistem Jaminan Halal ini, umat Islam dapat mengkonsumsi produk tanpa ada kecemasan ataupun kekhawatiran kalau produk yang dipilihnya merupakan produk non halal (haram).

Tidak dipungkiri, jika produk-produk yang beredar di sekeliling kita, baik yang dijual di supermarket ataupun di tingkat pedagang pengecer, kebanyakan merupakan produk olahan yang sebelumnya diproses melalui mekanisme produksi dengan menggunakan berbagai bahan baku. Tidak menutup kemungkinan bahan baku yang digunakan dalam proses produksi tercampur dengan benda yang haram, seperti babi dan turunannya. Critical point dalam Sistem Jaminan Halal di perusahaan produk halal terletak pada ada dan tidak adanya benda haram di dalam proses produksi. Biasanya yang perlu diwaspadai sering terjadi pada gelatin. Dalam hal ini, Sistem Jaminan Halal dapat mengontrol mulai dari bahan baku yang digunakan selama proses produksi hingga pada proses packaging untuk didistribusikan.

Sekarang timbul pertanyaan, bagaimana dengan Sistem Jaminan Halal pada industri perbankan syariah? Apakah mekanisme yang kini sudah berjalan di industri perbankan syariah sudah memadai untuk menciptakan iklim Sistem Jaminan Halal di dalamnya? Atau sebaliknya masih perlu membutuhkan Sistem Jaminan Halal sebagaimana pada industri perusahaan produk halal?

Hemat penulis, komentar Menteri Agama H. Maftuh Basuni tatkala dikonfirmasi oleh wartawan pkesinteraktif mengenai dana haji yang tidak dikelola oleh industri perbankan syariah, menjadi signal perlu adanya Sistem Jaminan Halal di industri perbankan syariah. Masalahnya, pada kesempatan itu Menteri Agama sempat berkomentar, mengapa Departemen Agama dalam menyelenggarakan ibadah haji tidak menetapkan hanya bank-bank syariah saja sebagai penerima dana tabungan haji bagi umat Islam yang ingin menunaikan ibadah haji. Jawaban Menteri Agama cukup mengagetkan, “Karena operasional bank-bank syariah belum mencerminkan syariah itu sendiri.”

Di perbankan syariah, diperlukan adanya halal assurance system dan sertifikat sistem jaminan halal adalah dalam rangka membuktikan bahwa Bank Syariah dapat menjamin kehalalan produknya yang bersifat lighairihi. Sistem Jaminan Halal di industri perbankan syariah diarahkan untuk mem-back up sekaligus membantu tugas dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang sudah ada di setiap industri perbankan syariah. Dalam prosesnya, Sistem Jaminan Halal pada industri perbankan syariah telah mempunyai prosedur tetap yang dapat dijadikan Standard Operating Procedure (SOP) dalam memberikan penilaian halal tidaknya operasional sebuah bank syariah.

Berawal dari fatwa-fatwa ekonomi syariah yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang selanjutnya dijadikan acuan oleh regulator, dalam hal ini Bank Indonesia, untuk menetapkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai payung hukum operasional bank syariah di Indonesia. Jadi SOP untuk menilai operasional bank syariah mengacu pada ketentuan yang sudah ditetapkan dalam fatwa DSN-MUI dan PBI.

Dengan menggunakan model check list, kita dapat merumuskan sistem jaminan halal di industri perbankan syariah. Check list ini berfungsi untuk melihat nilai kesesuaian antara operasional bank syariah dengan ketentuan yang ada dalam fatwa DSN-MUI dan PBI. Penilaian tersebut mencakup akad-akad yang digunakan, investasi yang dilakukan, produk yang ditawarkan dan marketing yang diterapkan. Semuanya harus zero haram (nilai haram = nol). Artinya, tidak ada toleransi terhadap unsur non halal (haram) dalam memberikan penilaian.

Titik kritis (critical point) dalam Sistem Jaminan Halal di industri perbankan syariah terletak pada ada tidaknya unsur bunga (riba), gharar (ketidakjelasan), maysir (perjudian), risywah (suap), tadlis (penipuan) dan dzulm (aniaya) dalam operasional bank syariah. Dalam prakteknya, penilaian Sistem Jaminan Halal di industri perbankan syariah dapat dilakukan oleh auditor independent yang dalam hal ini dapat dilakukan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN).

Bank syariah yang sudah berjalan di atas ‘rel’ Sistem Jaminan Halal nantinya akan memperoleh sertifikat halal dari DSN-MUI. Sertifikat ini sebagai bukti bahwa bank syariah tersebut operasionalnya telah dijamin sesuai dengan kaedah syariah Islam.

Dengan adanya Sistem Jaminan Halal di industri perbankan syariah akan memberikan stimulan bagi umat Islam untuk lebih yakin bertransaksi dengan bank syariah. Hati nasabah akan lebih tenang (tuma’ninah an-nafs) jika operasional suatu bank syariah berada dalam lingkup Sistem Jaminan Halal. Wallahul muwaffiq ila aqwamit thariq.

Tulisan ini pernah dimuat di Republika, Senin 8 September 2008

Beri tanggapan

Your response:

Kategori

metodologi penelitian hukum normatif

Metodelogi Penelitian Hukum

Normatif

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena hakekat penelitian bertujuan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi, tak terkecuali juga dalam cabang ilmu hukum.

Penelitian hukum dapat kita gunakan sebagai jalan untuk pembangunan hukum dan mudah-mudahan juga dapat menjadi tools yang memberikan bukti dan argumen bahwa hukum Islam compatible juga di zaman modern ini, dengan sudut pandang metodologi kajian ilmiah yang dikenal dalam studi hukum konvensional.

Penelitian hukum normatif atau studi kepustakan hukum mengunakan banyak pendekatan, akan tetapi dalam tulisan ini hanya akan dibahas beberapa pendekatan saja, antara lain:

  1. Sinkronisasi Hukum Horizontal

  2. Sinkronisasi Hukum Vertikal

  3. Perbandingan Hukum

  4. Penelitian Jurisprudensi

  5. Penelitian Hukum Tak tertulis Normatif (Hukum Adat)

  1. Sinkronisasi Hukum Horizontal

Jenis penelitian ini sebagaimana dikutip dari Prof. Soerjono Soekanto1 bertujuan untuk menggungkap kenyataan sampai sejauh mana perundang-undangan tertentu serasi secara horizontal, yaitu mempunyai keserasian antara perundang-undangan yang sederajat mengenai bidang yang sama.

Didalam penelitian mengenai taraf sinkronisasi secara horizontal ini, mula-mula harus terlebih dahulu dipilih bidang yang akan diteliti2. Setelah bidang tersebut ditentukan, misalnya bidang pemerintahan daerah, maka dicarilah peraturan perundang-undangan yang sederajat yang mengatur segala aspek tentang pemerintahan daerah tersebut.

Aspek-aspek tersebut merupakan suatu kerangka untuk menyusun klasifikasi peraturan perundang-undangan yang telah diseleksi, untuk kemudian dianalisa. Misalnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (TLN-RI tahun 1974 Nomor 38) dengan Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN-RI tahun 1979 Nomor 56)3.

Dari hasil analisa akan dapat terungkap, sampai sejauh mana taraf sinkronisasi secara horizontal dari pelbagai macam peraturan perundang-undamgan yang mengatur bidang pemerintahan daerah ini.

Selain mendapatkan data tentang peraturan perundangan-undangan untuk bidang-bidang tertentu secara menyeluruh dan lengkap, maka penelitian dengan pendekatan ini juga dapat menemukan kelemahan-kelemahan yang ada pada peraturan perundangan-undangan yang mengatur bidang-bidang tertentu. Dengan demikian peneliti dapat membuat rekomendasi untuk melengkapi kekurangan-kekurangan, menghapus kelebihan-kelebihan yang saling tumpang tindih, memperbaiki penyimpangan-penyimpangan yang ada, dan seterusnya. Hasil-hasil penelitian ini tidak hanya berguna bagi penegak hukum, akan tetapi juga bagi ilmuwan dan pendidikkan hukum.4

  1. Sinkronisasi Hukum Vertikal

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah suatu peraturan perundangan-undangan yang berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lainnya apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undangan yang ada5.

Hierarki peraturan perundang-undangan di RI diatur dalam ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 (merupakan memorandum Sumber Tertib Hukum DPR-GR tanggal 9 Juni 1966) dan telah digantikan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-Undangan Beserta Peraturan Pelaksanaannya, yang pada Pasal 7 diatur mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:6

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

  3. Peraturan Pemerintah;

  4. Peraturan Presiden;

  5. Peraturan Daerah.

Dalam penelitian ini maka yang ditelaah adalah peraturan perundang-undangan suatu bidang tertentu, didalam perspektif hierarkisnya. Sudah tentu bahwa telaah ini juga harus didasarkan pada fungsi masing-masing perundang-undangana tersebut, sehingga taraf keserasiannya akan tampak dengan jelas. Misalnya, suatu Peraturan Pemerintah yang setingkat lebih rendah dari undang-undang merupakan peraturan yang diciptakan untuk menjalankan atau menyelenggarakan undang-undang.7

Dengan demikian dapat pula kita tinjau sebab-sebab terjadinya kasus yang dihadapi sepanjang mengenai hierarki peraturan perundang-undangan tersebut, dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah.8

  1. Perbandingan Hukum

Setiap kegiatan ilmiah lazimnya menerapkan metode perbandingan, karena sejak semula seorang ilmuan harus dapat mengadakan identifikasi terhadap masalah-masalah yang akan ditelitinya. Menetapkan satu atau beberapa masalah berarti telah menerapkan metode perbandingan, dimana hal itu didasarkan pada perbandingan, sehingga masalah yang dianggap paling penting yang akan diteliti olehnya.9

Didalam ilmu hukum dan praktek hukum metode perbandingan ini sering diterapkan. Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh ahli-ahli hukum yang tidak mempelajari ilmu-ilmu sosial lainnya, metode perbandingan ini dilakukan tidak sistematik atau tanpa pendekatan pola tertentu. Oleh karena itu, metode penelitian hukum yang menggunakan metode penelitian biasanya merupakan penelitian sosiologik (soiologi hukum); antropologi hukum; psikologi hukum, dan sebagainya. Karenanya, penelitian-penelitian ini sifatnya adalah empirik.10

DR. Johnny Ibrahim dalam bukunya Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif menyatakan bahwa pada umumnya, pendekatan perbandingan yang dilakukan dengan menggunakan komparasi mikro, yaitu membandingkan isi aturan hukum negara lain yang spesifik dengan aturan hukum yang diteliti, atau dapat juga dalam rangka mengisi kekosongan dalam hukum positif. Penelitian ini hanya dilakukan terhadap unsur-unsur yang dapat dibandingkan (tertium comparationis) dengan bahan hukum yang dijadikan fokus penelitian.11

Beberapa ahli melihat perbandingan hukum sebagai ilmu, namun demikian, sesungguhnya hal itu mencakup juga perbandingan hukum sebagai metodelogi.

Sebagai metode penelitian perbandingan hukum dapat dipergunakan pada semua bidang hukum baik hukum privat, hukum publik, hukum tata negara dan lain sebagainya.

Perbandingan hukum dipakai di segala bidang hukum untuk memperluas pengetahuan kita tentang hukum.

Perbandingan hukum tidak saja bertujuan untuk mengetahui perbedaan dan persamaannya saja, tetapi jauh dari itu adalah untuk mengetahui sebab-sebab dan faktor-faktor yang mempengaruhi persamaan dan perbedaan daripada sistem-sistem hukum yang diperbandingan sehingga kita dapat memberikan analisa banding, yang berguna dalam pembentukkan hukum nasional dan secara internasional kita dapat menghargai pandangan hidup bangsa lain termasuk hukumnya (sehingga dapat tercipta hubungan antar bangsa yang harmonis, toleran guna mencapai perdamaian dunia)

Diantara pedekatan yang digunakan dalam proses perbandingan hukum antara lain membandingkan hukum dilihat dari sudut pandang sejarah hukum dan sosiologi hukum, yang akan diurai lebih detail berikut ini..

  1. Pendekatan Sejarah Hukum

Sejarah hukum adalah salah satu bidang studi hukum, yang mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum dalam suatu masyarakat tertentu, dan memperbandingkan antara hukum yang berbeda karena dibatasi karena perbedaan waktu12.

Sejarah hukum dengan perbandingan hukum merupakan dua hal yang berhubungan erat. Bahkan menurut Prof. John Gilisen dan Prof. Frits Gorle perbandingan hukum merupakan cara pandang yuris terhadap hukum dengan menempatkannya pada dimensi ruang sedang sejarah hukum adalah cara pandang yang menempatkan hukum pada dimensi waktu13.

Senada dengan kedua ahli hukum dari Belgia diatas pada abad 19 Joseph Kohler telah berpendapat bahwa istilah sejarah hukum sama dengan perbandingan ilmu hukum, disamping itu Sir Pollack menganggap tidak ada perbedaan antara historical jurisprudence dan comparative jurisprudence.14

Sejarah hukum berusaha mengenali dan memahami secara sistematis prose-proses terbentuknya hukum, faktor-faktor yang menyebabkan dan sebagainya serta memberikan tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum dalam masyarakat.

Berikut ini contoh proses perbandingan hukum dengan menggunakan pendekatan sejarah hukum :

  • Membandingkan hukum -yang sifat dan coraknya sama- pada masa lampau dengan hukum pada masa sekarang, misalnya lembaga hukum ”milik” dari hukum Inggris pada masa sekarang dibandingkan dengan lembaga hukum ”milik” pada masa pertengahan dan pada zaman kuno.15

  • Pengaturan hak milik tanah di Indonesia dalam kurun waktu yang berlainan mengakibatkan pengaturan-pengaturan yang berbeda, diuraikan berikut ini :

  • Sebelum kedatangan belanda, hak milik di indonesia diatur dalam hukum adat.

  • Selama penjajahan Belanda, hak milik di Indonesia diatur dalam Agrarise Wetgeving.

  • Setelah Indonesia merdeka, hak milik diatur dalam UUPA.16

  • Amerika Serikat walaupun sistem hukumnya anglo saxon indentik dengan saudara tuanya Inggris bila kita melakukan analisa perbandingan terhadap hukum tata negara keduanya terdapat perbedaan signifikan bahwa Ingris monarki dan Amerika Serikat menganut demokrasi liberal, hal ini dilandasi sejarah bahwa semangat Amerika serikat untuk bebas/liberal yang mendorong mereka untuk merdeka dari koloni Inggris.

  • Sistem pemerintahan negara-negara anglo saxon tidak identik dengan saudara tuanya Inggris, misalnya Amerika Serikat tidak mengenal adanya Perdana Menteri, sedangkan India serupa dengan Inggris mengenal adanya Perdana Menteri dalam hukum tata negaranya, bila dirunut sejarahnya mengapa Inggris memiliki Perdana Menteri mempunyai hubungan dengan fakta bahwa George I (1714-1724), raja Inggris pertama dari wangsa Hannover, tidak mampu berbahasa Inggris, sehingga pemerintah tidak lagi seperti sebelumnya, dapat berunding dibawah pimpinan raja sebagai ketuanya.17 Sehingga mulai saat itu Inggris memiliki Perdana Menteri dan diadaptasi oleh India akan tetapi Amerika Serikat karena sejarah pula tidak mengadaptasinya kedalam sistem tata negaranya.

  • Kaidah-kaidah hukum juga mengalami perbedaan dari waktu-kewaktu. Misalnya hukum Romawi (yang menjadi akar hukum Belanda dan turun menjadi hukum positif Indonesia) menganut bahwa orang Romawi perempuan yang menikah cum manu sepenuhnya berada dalam kekuasaan dari pater familitas, sedangkan sejak undang-undang tanggal 30 april 1958 KUH Perdata kita dalam pasal 212 menetapkan bahwa pekawinan tidak merubah kecakapan melakukan perbuatan hukum dari para pihak, sehingga perempuan yang sudah menikah misalnya dapat menjalankan profesi secara mandiri dan mengurus kekayaan sendiri. Dari kasus ini terlihat bahwa walaupun sejarah hukum positif Indonesia berakar pada Romawi karena perbedaan waktu mengalami perubahan.18

  1. Pendekatan Sosiologi Hukum

Sosiologi hukum adalah suatu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara empiris dan analisis mempelajari hubungan timbal balik antara hukum sebagai gejala sosial dengan gejala sosial lainnya.19

Pendekatan sosiologi hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH, MA sangat penting dalam proses perbandingan hukum untuk dapat mengetahui apakah terdapat konsep-konsep hukum yang universal, dan apakah perbedan-perbedaan yang ada merupakan suatu penyimpangan dari konsep-konsep yang universal, oleh karena kebutuhan masyarakat memang menghendakinya.

Penelitian perbandingan ini tidak perlu dilakukan dengan cara membanding-bandingkan beberapa masyarakat yang berbeda, akan tetapi dapat pula diadakan penelitian terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku dalam satu masyarakat yang terdiri dari perbagai sistem sosial dengan masing-masing hukumnya, misal di indonesia dapat dilakukan penelitian perbandingan terhadap sistem-sistem hukum yang berlaku diberbagai daerah dan didukung oleh suku-suku bangsa yang berlainan.20

Berikut ini contoh proses perbandingan hukum dengan menggunakan pendekatan sosiologi hukum :

  • Perbandingan hukum dengan pendekatan soiologis dapat menemukan sekalipun sumber hukum yang digunakan oleh berbagai sistem hukum itu sama, namum penerapannya pada satu sistem hukum dapat berbeda dengan sistem lainnya. Misalnya :

  • Penerapan kaidah hukum Islam yang sama-sama bersumber dari al- Qur’an yang diterapkan di saudi arabia berbeda dengan yang diterapkan di Mesir, Irak dan sebagainya. Penerapan hukum Belanda di negeri Belanda sendiri berbeda dengan di Suriname, Afrika selatan, Srilangka dan di Indonesia.

Dengan mempergunakan pendekatan sosiologis dalam perbandingan hukum dapat diketahui sebab-sebab timbulnya perbedaan yaitu latar belakang soial budayanya yang berbeda-beda meskipun sumber hukumnya sama.21

  • Sistem hukum di Afrika dibandingkan dengan sitem hukum di Indonesia. Ternyata sistem hukum di Afrika berlainanan dengan sistem hukum di indonesia, kebudayaan dan pola politik. Jadi perbedaan kebudayaan dan cara hidup bangsa mengakibatkan sistem hukum yang berbeda.22

  • Penerapan hukum anglo Saxon di Ingris sendiri juga jauh berbeda dengan di Amerika Serikat, India, Malaysia atau Australia dikarenakan keadaan masyarkatnya yang berbeda-beda

  1. Penelitian Jurisprudensi23

Jurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum formal yang berlaku juga dalam sistem hukum di Indonesia, sudah barang tentu banyak aspeknya yang dapat diteliti guna mendapatkan mendapatkan manfaat dalam pembangunan hukum. Salah satu aspek yang dapat diteliti adalah bila terjadi sengketa antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Sangat dimungkinkan terjadi sengketa antara suatu yurisprudensi dengan hukum yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Contoh: ketentuan pasal 40 KHI. Yang melarang perkawinan beda agama. Tetapi putusan Mahkamah Agung nomor: 1400/Pdt/1986 tanggal 20 Januari 1989 membolehkan perkawinan beda agama, dan memerintahkan kepada pegawai pencatatan pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta agar supaya melangsungkan perkawinan antara Andi Voni Ghani (Islam) dengan Adrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen).

Meskipun KHI bukan bertaraf Undang-undang, tetapi dari segi teknis dan formil dia dapat digolongan Statue Law, karena secara teknis KHI dikodifikasi dan secara formil dikukuhkan oleh Inpres No.1 Tahun 1991.

Contoh lain mengenai jual beli tanah. Sebelum berlaku UUPA dan PP No. 10 tahun 1961, yurisprudensi membenarkan keabsahan jual-beli tanah didasarkan atas kesepakatan harga dan tanah yang menjadi objek jual-beli meskipun jual-beli dilakukan dibawah tangan, terutama hal ini dulu berlaku atas tanah yang berstatus hukum adat. Sekarang timbul masalah. Berdasarkan ketentuan pasal 19 UUPA jo. Pasal 19 PP No. 10 tahun 1961 pemindahan hak baik dalam bentuk jual-beli dilakukan didepan PPAT, dan oleh karena itu dibuat akta PPAT.

Dengan demikian telah terjadi saling bertentangan antara yurispredensi dengan ketentuan hukum perundang-undangan. Bagaimana pandangan mengenai hal tersebut akan dibahas berikut ini.

  1. Dalam Kaidah Umum (pada sistem hukum Indonesia), Undang-Undang Dimenangkan

Sikap atau tindakan yang utama menghadapi pertentangan antara yurisprudensi dengan undang-undang sedapat mungkin berpegang kepada prinsip:

“ Yurisprudensi menundukkan diri kepada undang-undang yang berlaku”

Jadi, undang-undang lebih didahulukan dibanding yurisprudensi atau “Statue Law Prevail”. Alasannya adalah pada negara yang menganut Statue Law System seperti Indonesia, pada dasarnya hanya peraturan perundang-undangan saja yang memiliki legitimasi formil berdasarkan ketatanegaraan. Oleh karena itu meskipun dalam kenyataan praktik, diketahui peran dan kewenangan badan-badan peradilan untuk bertindak sebagai “Judge Make Law” yang menciptakan lahirnya yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum, namun kedudukan formilnya tetap berada dibawah hukum perundang-undangan. Pengakuan yurisprudensi sebagai sumber hukum, memang dilihat dari sudut teori ilmu hukum secara hierarkis tetap ditempatkan dibawah hukum perundang-undangan. Jadi jelas bahwa baik dari sudut ketatanegaraan maupun doktrin ilmu hukum, kedudukkan formil undang-undang lebih unggul dari yurispridensi.

  1. Kaidah Dalam Kasus Dimenangkan Yurisprudensi

Tidak selamanya asas Statue Law Prevail ditegakkan apabila terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Yurisprudensi. Dalam hal-hal tertentu secara kasustik, yurisprudensi yang dipilih dan dimenangkan dalam pertarungan pertentangan nilai hukum yang terjadi.

Mekanisme yang ditempuh oleh hakim memenangkan yurisprudensi terhadap suatu peraturan pasal perundang-undangan dilakukan melalui pendekatan.

  • Didasarkan pada alasan kepatutan dan kepentingan umum.

Untuk membenarkan suatu sikap dan tindakan bahwa yurisprudensi lebih tepat dan lebih unggul nilai hukum dan keadilannya dari peraturan pasal undang-undang, mesti didasarkan atas ”kepatutan” dan ”perlindungan kepentinggan umum”. Hakim harus mengguji dan mengganalisis secara cermat, bahwa nilai-nilai hukum yang terkandung dalam yuriprudensi yang bersangkutan jauh lebih pontensial bobot kepatutannya dan perlindungannya terhadap kepentingan umum dibanding dengan nilai-nilai yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Dalam hal ini agar dapat dilakukan komparasi analisis yang terang dan jernih, sangat dibutuhkan antisipasi dan wawasan profesionalisme. Tanpa modal tersebut sangat sulit seorang hakim berhasil menyingkirkan suatu pasal undang-undang.

  • Cara mengunggulkan Yurisprudensi melalui ”Contra Legem

Jika hakim benar-benar dapat mengkonstruksi secara komparatif analisis bahwa, bobot yurisprudensi lebih pontensial menegakkan kelayakan dan perlindungan kepentingan umum, dibandingkan suatu ketentuan pasal undang-undang, dia dibenarkan mempertahankan yurisprudensi.

Berbarengan dengan itu hakim langsung melakukan tindakan ”contra legem” terhadap pasal-pasal undang-undang yang bersangkutan.

Disebabkan nilai bobot yurisprudensi lebih pontensial dan lebih efektif mempertahankan tegaknya keadilan dan perlindungan kepentingan umum, undang-undang yang disuruh mundur dengan cara contra legem, sehingga yurusprudensi yang sudah mantap ditegakkan sebagai dasar dan rujukan hukum penyelesaian perkara.

  • Yurisprudensi dipertahankan dengan melenturkan peraturan perundang-undangan.

Cara penerapan lain dalam masalah terjadinya peertentangan antara yurisprudensi dengan ketentuan perundang-undangan :

  • Tetap mempertahankan nilai hukum yang terkandung dalam yurisprudensi; dan

  • Berbarengan dengan itu, ketentuan pasal perundang-undangan yang bersangkutan diperlunak dari sifat imperatif menjadi fakultatif (Paulus, Yurisprudensi dalam Perspektif Pembangunan hukum administrasi negara, 1995)

Memang ada kemiripan cara ini dengan tindakan contra legem, tetapi ada perbedaan. Penerapan contra legem pasal yang bersangkutan disingkirkan secara penuh. Keberadaan pasal itu didalam perundang-undangan sama sekali tidak ada. Lain halnya dengan tindakkan mempertahankan yurisprudensi yang dibarenggi dengan tindakan memperlunak pasal perundang-undangan. Dalam hal ini yurisprudensi tidak secara penuh melemparkan nilai yang tekandung dalam pasal, tetapi hanya diperlunak dari sifat imperatif menjadi bersifat fakultatif.

  1. Penelitian Hukum Tak Tertulis Normatif

Penelitian hukum adat menurut Prof. Soerjono Soekanto (alm) guru besar hukum adat Universitas Indonesia umumnya menggunakan pendekatan perbandinagn huku, sebagaimana beliau mengutip C. van Vollenhoven, didalam mengisi apa yang disebut sebagai lingkungan hukum (rechtskring), yang merupakan daerah hukum adat. Setiap daerah hukum adat tersebut dianalisa untuk kemudian diidentifikasi ciri-ciri khasnya. Ciri-ciri tersebut bukan merupakan penyimpangan dari suatu kerangka, akan tetapi merupakan kerangka-kerangka tersendiri24.

Oleh karena ciri-ciri khas tersebut dianggap suatu kerangka tersendiri, maka ciri-ciri tersebut kemudian diujikan terhadap sistem-sistem hukum adat yang terdapat didalam masyarakat-masyarakat.

Sistem-sistem hukum yang tidak mempunyai ciri-ciri tersebut dikeluarkan dan digolongkan pada daerah lain atau dibentuk suatu daerah yang khusus. Selannjutnya diadakan penelitian terhadap persamaan-persamaan yang mungkin dapat dijumpai dalam sistem-sistem hukum adat yang termasuk suatu daerah tertentu.

Dengan demikian maka diperoleh klasifikasi daerah-daerah hukum adat dengan batas-batas yang relatif lebih tajam.

Metode penelitian ini dipakai oleh C. Van Vollenhoven dan menghasilkan kalsifikasi 19 lingkungan hukum adat di Indonesia, sebagai berikut:25

  1. Aceh (Aceh Besar, pantai barat Aceh, singkel Simeuleu)

  2. Tanah Gayo, Alas, Batakdan Nias

  3. Daerah Minangkabau (Padang, Agam, Tanah Datar, Limapuluhkota, Daerah Kampar, Kerinci) dan Mentawai

  4. Sumatra Selatan (Bengkulu, Lampung, Palembang dan Enggano)

  5. Daerah melayu (Lingga Duri, Indaragiri, Pantai Timur Sumatra, Banjar)

  6. Bangka Belitung

  7. Kalimantan

  8. Minahasa (Manado)

  9. Gorontalo

  10. Tanah Toraja

  11. Sulawesi Selatan (Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makasar, Selayar, Muna)

  12. Ternate

  13. Maluku-Ambon

  14. Irian

  15. Kepulauan Timor

  16. Bali dan Lombok

  17. Bagian Tengah Jawa dan Jawa Timur termasuk Madura

  18. Daerah Kerajaan (Solo, Yogyakarta)

  19. Jawa Barat (Parahiayangan, Tanah Sunda, Jakarta, Banten)

C. Van Vollenhoven kemudian melakukan analisa deksriptif terhadap masing-masing lingkungan hukum adat, dengan sistematika, sebagai berikut:26

  1. Tempat penemuan hukum adat lingkungan penemuan hukum adat masing-masing.

  2. Ruang lingkup lingkungan, hukum adat yang bersangkutan.

  3. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat.

  4. Tentang pribadi.

  5. pemerintah, peradilan dan pengaturan.

  6. Hukum adat masyarakat:

    1. hukum kekeluargaan adat,

    2. hukum perkawinan adat,

    3. hukum waris adat,

    4. hukum tanah adat,

    5. hukum hutang piutang adat,

    6. hukum delik adat,

    7. sistem sanksi,

    8. perkembangan hukum adat.

B ter Haar salah satu murid C. Van Vollenhoven melakukan penelitian lanjutan yang mengkaji hukum adat dari sudut pandang, sebagai berikut:27

  1. Dasar hukum (kenegaraan) dari berlakunya hukum adat, yang berupa dali-dalil,

  2. Tata masyarakat,

  3. Hak-hak atas tanah,

  4. Transaksi-transaksi tanah,

  5. Transaksi-tarnsaksi dimana tanah tersangkut,

  6. Hukum hutang-piutang,

  7. Lembaga/yayasan,

  8. Hukum pribadi,

  9. Hukum kekeluargaan,

  10. Hukum perkawinan,

  11. Hukum waris,

  12. Hukum delik,

  13. Pengaruh masa lampau,

  14. bahasa hukum,

  15. Pembentukkan hukum adat,

  16. kepustakaan hukum adat.

Hasil dari penelitian tersebut dapat tergambar ciri-ciri dari lembaga hukum, hubungan-hubungan hukumdan pristiwa-pristiwahukum (khususnya prilaku hukum) sehingga dari gambaran tersebut dapat ditarik kesimpulan-kesimpulanyang merupakan azas-azas dan sistem hukum adat.

Dalam melakukan penelitian hukum normatif terhadap hukum adat biasanya peneliti menggunakan sudut pandang:28

  1. Bidang-bidang hukum tertentu, atau

  2. Pengertian dasar sistem hukum adata tersebut (antara lain: subyek hukum, hak dan kewajiban, pristiwa hukum, hubungan hukum, obyek hukum)

Sumber dari dari penelitian normatif hukum adat ini dapat berupa naskah-naskah hukum adat (di perpustakaan, universitas, arsip nasional, museum dan istana-istana adat, dll) dan wawancara terhadap pemangku adat/saksi sejarah.

1 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), cet 7, hal 74

2 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-PRESS,1986), cet 3, hal 257

3 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal 97

4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Op. Cit hal 257

5 Bambang Sunggono, Op. Cit hal 97

6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Op. Cit hal 79

8 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Op. Cit hal 257

9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Op. Cit hal 81

10 Bambang Sunggono, Op. Cit hal 9

11 Johnny Ibrahim ,Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2006), cet 2, hal 313

12 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h 323

13 John Gilisen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu pengantar, (Bandung: Refika Aditama, 2005), h3

14 R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2003), h 3


15R. Soeroso, Op.Cit, h 327

16
Ibid, h 332


17 John Gilisen dan Frits Gorle, loc cit hal x-xi


18 Ibid, , x


19 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pres, 2004), h 25

20 Ibid, h 14

21 R. Soeroso, Op.Cit, h 327

22 Ibid, h 327

23 Yogi Ikhwan, Sengketa Peraturan Perundang-Undangan Dan Jusrisprudensi, artikel diakses 12 April 2008 dari www.yogiikhwan.blogspot.com

24Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Op. Cit hal 258

25Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2003), cet 6, hal 19-21

26 Ibid

27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum , Op. Cit hal 261

28 ibid